Cinta. Hanya satu kata, tersusun dari lima huruf yang berbeda. Sangat sederhana. Kata yang sama sekali bukan kata sulit untuk dituliskan, pun untuk diucapkan.
Teringat akan sebuah kalimat, “cinta
tak harus memiliki”. Kalimat populer ini jelas ditujukan untuk kisah cinta
antar manusia. Cinta pada seseorang yang diharapkan dapat menjadi pasangan
hidup, namun tak berujung pada pernikahan. Sesungguhnya orang-orang yang
mengalami episode ini bukanlah orang yang malang. Jika disikapi secara baik,
hal ini justru dapat melatih yang bersangkutan untuk menjadi lebih sabar, lebih
dewasa, lebih bijaksana, dan selalu yakin serta bersyukur akan
pemberian-pemberian dari Allah. Karena yakinlah, bahwa Allah akan memberikan
yang terbaik yang kita butuhkan, bukan yang terbaik (menurut kita) seperti yang
kita inginkan.
Cinta tak harus memiliki. Fitrah
manusia untuk mencintai. Seseorang mencintai seorang manusia lainnya sebelum
dinyatakan sah dan halal. Apakah salah? Suka pada seseorang
sebelum menikah, sepertinya tak ada masalah. Tak ada masalah jika hanya sebatas
rasa kagum, simpati, atau suka karena terdapat teladan yang baik dalam diri
seseorang. Tapi apakah harus mencintainya? Mengharapkan seseorang tersebut
untuk menjadi pasangan hidup, sepertinya itu juga bukan suatu kesalahan. Sangat
wajar jika seseorang mengharapkan pasangannya adalah orang yang baik,
shalih/shalihah, mengagumkan, dan terdapat suri teladan yang baik dalam
dirinya. Wajar, sangat wajar dan manusiawi. Tapi apakah harus mencintainya? Dan
apakah harus “dia”?
Wajar-wajar saja jika kita suka pada
seseorang, mengaguminya, itu hal yang manusiawi. Tapi mencintainya, wajarkah?
Teringat seorang teman mengatakan kalimat yang juga cukup populer tentang
cinta. “Cintai apa yang dimiliki, bukan miliki apa yang dicintai.” Begitu pula
kurasa dengan kekasih, pasangan hidup, seorang manusia yang menjadi pendamping
dunia akhirat. Sayang sekali jika kita mencintai seseorang yang belum tentu
akan menjadi pasangan hidup kita nantinya. Iya kalau jodoh kita adalah dia.
Tapi jika bukan, betapa kasihan jodoh kita yang sebenarnya. Ia yang seharusnya
mendapatkan cinta seutuhnya, namun sebagian hati telah tertawan pada hati yang
lain. Ia yang seharusnya kita cintai, tapi nyatanya hanya mendapatkan sisa-sisa
cinta dari sekeping hati kita yang rapuh ini.
“Jodoh itu tak akan tertukar”.
Yakinlah bahwa seseorang yang berjodoh dengan kita nantinya adalah yang
terbaik. Jadi tak perlu menyibukkan diri untuk mencintai hati yang belum tentu
akan mencintai seperti kita mencintainya. Kalaupun ia juga cinta, belum tentu berjodoh.
Tak sampai hati rasanya bila menyakiti pasangan yang sebenarnya nanti. Dialah
yang seharusnya dicintai dengan sepenuhnya. Bukan dengan sisa-sisa cinta,
apalagi hanya sebagai pelarian semata. Ada baiknya jika sekarang kita
mempersiapkan diri dan menjaga hati untuknya. Tak ingin hati ini ternoda oleh
cinta yang salah alamat.
Cintaku hanya akan kuberikan setelah akad nikah. Ijab
qobul yang begitu sakral terucap, menggetarkan hati begitu dahsyat sehingga
cinta itu kan tumbuh secara alami. Aku hanya ingin mencintainya setelah ia
halal bagiku. Sepenuhnya, tanpa terbagi.
Kembali pada dua kalimat cinta yang
cukup populer tadi. “cinta tak harus memiliki” dan “cintai apa yang dimiliki,
bukan miliki apa yang dicintai”. Kalimat pertama menyiratkan makna bahwa
cintailah apa saja, siapa saja. Sedangkan kalimat kedua, Ada perbedaan
antara mencintai apa yang dimiliki dengan memiliki apa yang dicintai. Dalam
konteks pasangan hidup, Mencintai apa yang dimiliki, ini berarti cinta itu
tumbuh setelah seseorang sah dan halal bagi kita. Sedangkan memiliki apa yang
dicintai, ini berarti cinta itu telah bersemi indah sebelum seseorang tersebut
sah dan halal baginya. Jika kita ingin “memiliki apa yang kita cintai”, maka
kalimat “cinta tak harus memiliki” berlaku di sini. Namun tak kan berlaku jika
kita “mencintai apa yang kita miliki”. Yang berlaku adalah “cinta harus
memiliki”. Karena kita sudah memiliki terlebih dulu sebelum mencintainya. Dan
hal ini menyiratkan sebuah isyarat rasa syukur yang begitu besar atas apa yang
telah ditetapkan oleh Allah untuk kita. Kalaupun ternyata pasangan kita nantinya
tak sesuai harapan, itu artinya Allah ingin kita belajar untuk bersabar. Dan
ingatlah, Allah itu bersama orang-orang yang sabar. Di sisi lain, Allah akan
menambah nikmatnya bagi yang selalu bersyukur.
Sungguh dahsyat rasanya jika kita
mencintai apa yang kita miliki. Hidup dalam bingkai cinta yang tulus berhiaskan
kesyukuran dan kesabaran. Kebahagiaan bukanlah hal yang sulit diwujudkan.
Kedamaian dan ketenangan pun akan terus mengiringi dalam setiap degup jantung.
Bukankah ini begitu indah..?
Cinta pada manusia bukanlah yang
abadi. Jadikan cinta itu sebagai media mengalirnya cinta menuju muara cinta
yang paling agung. Cinta pada Allah. Cinta inilah yang hakiki. Mencintai
pasangan merupakan salah satu perwujudan cinta pada Rabb yang menguasai jiwa ini.
Sebesar apapun cinta itu, tetap tujuan akhirnya adalah cinta pada Sang penguasa
cinta. Dialah yang memiliki cinta terluas, cinta tak berbatas. Dialah yang
berhak untuk dicintai sepenuhnya. Karena setiap detail kehidupan kita tak bisa
lepas dari cinta-Nya.
Andai kita kebingungan melabuhkan
cinta karena belum ada seseorang yang halal bagimu, tak perlu merasa galau.
Kegelisahan hanya membuat kita terus merasa risau. Ada Allah yang kita miliki
dan yang memiliki kita sepenuhnya. Cintailah dengan cinta terbaik yang kita
punya. Yakinlah Dia tak akan menyia-nyiakan cinta kita yang seadanya ini. Jika
yang kita dapatkan tak sesuai keinginan, bukan Allah tak mencintai kita. Tapi
Allah ingin kita belajar menjadi orang yang sabar sehingga kita bisa terus
merasa dekat dengan-Nya. Karena Allah bersama orang-orang yang sabar. Namun
jangan lupa untuk bersyukur ketika yang kita dapatkan sesuai keinginan. Karena
rasa syukur itulah yang menjadikan nikmat Allah terus bertambah. Tidak pernah
rugi, bukan? Ibarat berdagang, perdagangan yang selalu menguntungkan hanyalah
perdagangan dengan Allah, Rabb penguasa semesta.
0 komentar:
Posting Komentar